Sejarah Taman Menteng berawal dari Stadion Menteng yang tadinya merupakan Lapangan Sepak Bola Persija, Menteng yang telah ada sejak tahun 1920 – an, bernama Voetbalbond Indiesche Omstreken atau V.I.O.S Veld, berlokasi di Jl. HOS. Cokroaminoto 87 Menteng, Jakarta Pusat. Semula, selain sebagai lapangan bola, kawasan ini berfungsi juga sebagai ruang terbuka publik bagi masyarakat Menteng. Tahun 1961 Persija dirasa perlu memiliki sebuah lapangan yang cukup repersentatif. Pada tahun yang sama lapangan tersebut berubah nama menjadi Stadion Persija atau akrab disebut Stadion Menteng.
Rencana Gubernur DKI Sutiyoso mengubah fungsi Stadion Menteng menjadi Taman Menteng berawal sejak 2004. Sekitar bulan September 2004, Dinas Pertamanan DKI Jakarta membuka sayembara desain Taman Menteng, ruang terbuka publik serba-guna. Sayembara menekankan pada tema penyelesaian masalah parkir melalui parkir bawah tanah dan ruang publik yang memiliki karakter kontemporer. Soebchardi Rahim dengan tema desain "Dual Memory" sebagai pemenangnya. Desain pemenang sayembara tentunya sesuai selera Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yaitu menghilangkan stadion bersejarah yang sudah berumur 84 tahun itu. Sementara desain yang tetap mempertahankan keberadaan stadion dan memadukannya dengan taman interaktif yang serba – guna justru ditolak.
Rencananya di Taman Menteng nanti akan terdapat sarana olahraga futsal, badminton, jogging, taman dan monumen sepak bola, serta gedung parkir tiga lantai berkapasitas 200 mobil. Biaya yang dianggarkan untuk pembangunan Taman Menteng ini sebesar 32 miliar rupiah, dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2006.
Pada tanggal 28 April 2007, taman ini diresmikan dan dikategorikan sebagai taman publik yang memiliki fasilitas olahraga, 44 sumur resapan, dan lahan parkir.
Tampak Kawasan Taman Menteng
Kehadiran taman ini serta merta merubah tatanan landscape di sekitar jalan HOS Cokroaminoto, Menteng. Sepanjang jalan ini sekarang tidak boleh lagi ada mobil parkir. Menteng menjadi lengang. Tukang parkir “jejeritan” karena kehilangan tempat mencari nafkah. Pedagang kaki lima pun dilokalisir berjubel pada seruas jalan sempit antara Bank Lippo dan Menteng Plaza. Pengamen, peminta sumbangan, dan anak-anak jalanan menjadi lebih terkonsentrasi. Mereka menjadi seperti segerombolan “mob” yang setiap sekian detik menengadahkan tangan meminta uang.
Kawasan Cokroaminoto yang sebelumnya dikenal sebagai one stop shopping yang terintegrasi, kemana – mana dekat, sekarang tidak lagi (bagi sebagian pengunjung). Beberapa waktu lalu, begitu tiba di area itu, kita tinggal parkir, memesan makanan, memilih-milih DVD, mampir ke apotik sebentar, mampir ke swalayan sebentar, sholat sebentar, menjemput cucian sebentar, mengambil uang di ATM sebentar. Kini, susah menggunakan kata 'sebentar' untuk beragam aktivitas itu.
Parkir tidak bisa lagi asal minggir di bahu jalan. Kita harus di gedung yang sudah disediakan di area taman dan kemudian harus berjalan lumayan jauh untuk mencapai semua lokasi tujuan kita.
Mempertimbangkan kondisi ini, sebagian pengunjung setia ternyata merasa perlu menimbang-nimbang dulu. Bisa dimaklumi, persoalan utamanya adalah orang – orang tak terbiasa parkir di sebuah gedung lalu jalan jauh melenggang ke sana sini. Maka untuk sebagian orang, hal ini dianggap sebagai sumber ketidaknyamanan.
Taman Menteng yang ada sekarang dapat dikatakan sebagai suatu laboratorium yang juga dapat ditujukan bagaimana mengubah perilaku masyarakat yang maunya semua serba mudah. Masyarakat yang malas berjalan kaki, tidak mau berkeringat, dan kepanasan. Lihat saja, bagaimana trotoar baru di sepanjang Sudirman, Thamrin, Kuningan yang sedemikian lebarnya saja tak ramai dinikmati. Perlu waktu untuk merubah perilaku masyarakat kita.
Taman Menteng dibuat sebetulnya untuk siapa? Warga sekitar atau untuk siapa saja. Anggaplah untuk siapa saja. Lalu manfaatnya harusnya memang untuk siapa saja sesuai dari tujuan Taman Menteng yang diperuntukkan untuk siapa saja. Menurut observasi yang telah dilakukan, taman elok yang berada di kawasan elit tersebut sejauh ini lebih banyak dikunjungi masyarakat dari kelas sosial bawah dengan perilakunya yang ajaib : meludah sembarangan, membuah sampah sembarangan, mengumpat sekenanya. Sepasukan Satpam yang mestinya berjaga, malah ikut bermain futsal dengan pakaian seragamnya, melupakan tugas. Ya, sebagaimana di taman tersebut terdapat lapangan futsal dan lapangan basket.
Setidaknya perlu sejumlah kegiatan interaktif yang menarik di Taman Menteng agar orang mau berkunjung ke sana. Namun lagi-lagi persoalan baru akan menghadang. Taman Menteng tak cukup bergengsi untuk bisa menarik berbagai lapisan masyarakat kota jika perawatan, kerapian, kebersihan, dan keamanannya tidak dipertahankan.
Dua buah rumah kaca yang didedikasikan untuk kegiatan seni, diharapkan dapat menarik kelompok menengah atas dan warga terpelajar lainnya untuk berkunjung ke Taman Menteng.
(untuk versi aslinya, dapat dilihat di http://usep.multiply.com/journal/item/643/Taman_Menteng_Sebuah_Edukasi_Merubah_Perilaku)
Rumah Kaca di Kawasan Taman Menteng
Untuk jam pengoperasionalan Taman Menteng akan dibatasi hingga pukul 22.00 WIB, menanggapi dari keluhan – keluhan warga sekitar yang merasa terusik dan tidak nyaman dengan berbagai macam kegiatan yang dilakukan di Taman Menteng hingga larut malam. Seperti sekumpulan orang yang bermain futsal hingga larut malam sambil berteriak – teriak, ada pula sekelompok orang lainnya seperti kumpulan pengendara motor yang bermain gitar hingga larut, sehingga mengganggu waktu istirahat warga sekitar.
Jam pengoperasionalan Taman Menteng yang dibatasi juga memiliki keuntungan, karena dapat mempermudah petugas dalam melakukan pengawasan dan menjaga kebersihan di Taman Menteng tersebut.
Patung Obama semasa kecil yang terdapat di Kawasan taman Menteng dan menjadi kontroversi.
Contoh acara launching yang dilakukan di Taman Menteng.