Selasa, 04 Oktober 2011

Warna-Warni Batik di Stasiun

Warna-warni batik. Hmm...sepertinya dapat ditemui di hari-hari tertentu, seperti hari Kamis dan Jum'at.

Sepertinya, makin marak saja penggunaan batik sejak penetapannya sebagai salah satu warisan budaya atau world heritage oleh UNESCO.

Banyak instansi yang mewajibkan karyawannya menggunakan batik, yang mungkin hampir sebagian besarnya terlihat seragam dengan ragam batik yang berbeda di hari Jum'at. Mungkin beberapa ada yang menggunakannya di hari Kamis, misalnya saja sekolah.

Seperti hari ini. Aku, setelah melalui hari kuliahku yang dalam proses pembuatan Tugas Akhir, duduk di bangku peron stasiun, menunggu kereta.

Kupandangi sekitarku, dari ujung utara stasiun sampai ujung selatan stasiun. Kuamati yang bisa dan ingin kuamati, sesuatu yang menarik tertangkap mata.

Mbak-mbak bergosip, ibu-ibu dan bapak-bapak pulang dari kerjanya, anak-anak kecil yang berlari berkejaran, mbak-mbak pulang kuliah, pemulung yang mencari botol kosong untuk dimasukkan ke karungnya, mas-mas dengan headset terpasang di telinganya, dan bermacam aktivitas lainnya. Beragam kegiatan dilakukan untuk membunuh waktu menunggu kereta yang kian mendekat, termasuk aku dengan kegiatan mengamatiku atau orang lain yang hanya diam dan duduk menunggu dengan sabar.

Waktu yang terus berjalan, menandakan hari bertambah malam. Peron stasiun pun berangsur ramai, ditambah dengan jarak yang cukup lama antara kereta yang berangkat 2 menit sebelum aku sampai dengan kereta yang kutunggu.

Hmmm...sepertinya kondisi kereta tidak akan selonggar perkiraanku sebelum menginjakkan kaki di stasiun. Terlebih kereta yang kutunggu adalah kereta bersubsidi (baca: ekonomi).

Tapi, hei!! Ada yang aku lewatkan!

Baru kusadari, dari orang-orang yang berseliweran di depanku, banyak yang menggunakan batik! Ku ingat hari, dan baru kusadari itu hari Jum'at. Yap, hari batik!

Pengeras suara berbunyi, mengumumkan kereta yang akan memasuki stasiun, berikut kereta-kereta di belakangnya. Kereta ekonomi akan masuk terlebih dahulu.

Tak lama kereta pun melintas pelan didepanku. Kuperhatikan pintu-pintu yang berjejalan manusia, mewakili keadaan didalamnya. Tak berbeda dengan keadaan di atap kereta.

Kupandangi kereta dari tempat ku duduk, hanya memandang, namun tak beranjak. Sudah kuputuskan aku tidak menaiki kereta ini.

Kuperhatikan orang-orang yang bersiap naik dan bersiap turun. Kereta berhenti, kerumunan orang di tiap pintu kereta berhamburan, bersaing untuk turun terlebih dahulu, sebelum kembali didorong dari orang yang akan masuk.

Huuuff...kuperhatikan dan dapat kubayangkan rasanya.

Dengan waktu berhenti yang singkat, kereta pun melanjutkan perjalanannya kembali menuju stasiun beikutnya. Dengan awal yang pelan namun pasti dengan penambahan kecepatan, meninggalkan kilasan dari kilau-kilau peluh yang terpantul lampu dari wajah-wajah penumpang.

Peron stasiun tempatku menunggu pun mendadak ramai, dengan lalu-lalang orang-orang yang baru turun dari kereta yang didominasi pekerja. Kuperhatikan, satu, dua, tiga, dan banyak orang lainnya menggunakan batik. Kupandangi diriku sendiri, yang tidak menggunakan batik.

Pengeras suara kembali berbunyi menandakan ada kereta yang akan memasuki stasiun kembali. Hanya berbeda rentang sekitar 5 menit dengan kereta sebelumnya.

Kilauan cahaya lampu sorot terlihat dari arah utara stasiun, membelah gelap malam. Tidak seperti kereta sebelumnya yang penuh dari atap sampai dalam-dalamnya. Kereta yang mengakhiri perjalanannya di stasiun Depok ini terlihat lebih ramah, walaupun sarat penumpang itu pasti.

Kecepatan kereta pun mulai berkurang, yang membuatku kembali memperhatikan bagian dalam kereta, pintu, dan jendelanya. Padat, dengan beberapa pintu otomatis di beberapa gerbong yang sengaja ditahan untuk tetap terbuka karena banyaknya penumpang, beberapa jendela terbuka untuk menambah aliran dan pasokan udara. Namun terlihat jelas kereta Commuter Line ini lebih menjanjikan kenyamanan dengan fasilitas AC dan kipas anginnya, serta gerbong wanitanya yang tulisan penandanya tercetak jelas di badan gerbong ditemani dengan gambar wanita dan corak bunga mirip batik.

Hei, lagi-lagi batik!

Pintu-pintu otomatis yang sebelumnya tertutup pun mendadak terbuka saat kereta berhenti. Penumpang yang baru turun pun menambah keramaian peron stasiun yang belum lama mengalamai keriuhan yang hampir sama.

Batik, batik, batik, batik, dan lagi-lagi batik. Dengan warna dan coraknya yang berbagai macam.

Coklat, hijau, merah, kuning, biru, abu-abu, ungu, berbagai macam warna batik dengan berbagai corak dan model, melintas didepanku. Seperti fashion show dadakan.

Burung, bunga, daun, gunung, dan lainnya mewarnai corak dari bahan-bahan batik yang menempel pada badan penumpang yang baru turun dari kereta. Tanpa tahu corak tersebut bermaksud apa, berasal dari mana, dan bagaimana cara membuatnya. Semua dipakai berdasarkan selera masing-masing.

Bapak-bapak, ibu-ibu, mas-mas, mbak-mbak, tua, muda, semua menggunakan batik, tanpa mempermasalahkan umur. Sudah menjadi hal yang lumrah, tanpa perlu merasa aneh melihat orang menggunakan batik.

Ternyata, tidak hanya saat 'kondangan' kita bisa ber-fashion show ria dengan batik dan mewarnai pesta. Stasiun pun bisa berubah sekejap dengan warna-warni batik, yang membuktikan banyak orang yang masih menghargai warisan budaya batik ini, tanpa malu menggunakan batik, walau hanya untuk satu hari.

Be proud with Batik!

:)

Pagi Ku Bersamanya

Pagi yang sama kembali. Ku siapkan diri untuk menghadapi hari. Yah, semua terlihat sama, dari semua rutinitasku yang biasa, pada hari sekolah tentunya.

Eitss...aku melupakan sesuatu! Yap, aku ada ujian hari ini!

Ku pacu diriku dengan lebih cepat, hanya satu hal dalam pikiranku, aku mungkin akan terlambat!

Dengan bergegas kusiapkan diriku, dari buku, hingga sepatu. Ayahku pun telah siap mengantarku, ke tempat awal ku memulai hariku, stasiun kereta.

Stasiun kereta yang cukup untuk menjadi tempat persinggahan KRL-KRL yang sebagaian besar lebih tua dari umurku, namun masih sanggup untuk beroperasi, mengangkut ribuan orang dalam setiap harinya.

Ya, disinilah aku. Stasiun kereta yang tidak besar memang, tapi tetap menjadi sarana dan teman setia ratusan orang lainnya yang mirip sepertiku, yang akan bekerja ataupun bersekolah.

Dalam kecemasan kutunggu 'teman' yang menemani hari-hariku bersekolah beberapa tahun ini. Aku cemas dengan waktuku, ujianku, keterlambatanku, ataupun keterlambatan KRL. Apalagi dengan permasalahan yang belakangan terjadi dalam sektor KRL yang menyebabkan keterlambatan jadwal dan penumpukan penumpang pastinya.

Kutengok ujung rel kereta yang masih dapat kulihat, sseolah-olah mengharapkan ada suatu tanda yang dapat kulihat dari kemunculan kereta. Belum jadwalnya memang, tapi aku sedang terburu waktu, begitu pikirku yang dipenuhi dengan kata-kata 'telat dan belum cukup belajar'.

Berkali-kali kupastikan jam di telepon selularku, masih belum waktunya, sebentar lagi. Hmm...memang inilah alternatif tercepat menuju sekolah, menunggu kereta atau memilih alternatif lainnya dengan angkot yang aku tidak tahu pasti waktu tempuhnya.

Tapi aku memang terlambat dari jadwalku biasanya. Buktinya tak kulihat teman berangkatku biasanya yang kutemui di stasiun dan bersama menunggu kereta dan menuju sekolah. Aduh, aku pasti terlambat!

Ku simak baik-baik jika ada suara pengumuman pada pengeras suara di stasiun. Bunyi 'kresek' sedikit saja pada pengeras sudah membuatku siaga akan apa yang diumumkan.

''JALUR SATU DARI SELATAN AKAN MASUK KERETA TUJUAN JAKARTA KOTA.''

Suara serak sang narator pria bagaikan angin sejuk dalam pikiranku. Akhirnyaaaa....

Kusiapkan diriku menunggu kereta datang, memasukkan telepon selularku ke dalam tas, ke tempat yang aman dan memastikan retsleting tas gendongku sudah terpasang dengan baik. Tak lupa menaruh tas ku tepat dipelukanku, mengingat tindak kriminal yang sering kali terjadi di dalam kereta yang berdesakan.

Kereta mulai mendekati peron stasiun, semua penumpang yang akan naik pun mulai bersiap, dengan ancang-ancangnya masing-masing, begitu pula denganku. Akhirnya kereta pun kunaiki. Tinggal berdoa agar aku tidak terlambat sampai sekolah.

Kereta pun tiba di stasiun tujuanku. Aku hanya perlu berjalan lima sampai sepuluh menit untuk sampai di sekolahku. Tapi tidak hari ini, kupercepat langkahku begitu keluar dari area stasiun, setengah berlari. Rambutku pun beterbangan menutupi mukaku. Peluh mulai membasahi keningku.

Suasana pagi yang biasa. Dengan kendaraan yang tetap berseliweran dengan kecepatannya. Dan aku yang tengah berlari kecil di trotoar melawan arus dan angin kendaraan.

Ku teruskan langkahku menjadi berjalan cepat. Kebiasaan baruku sejak masuk sekolah, aku selalu menyempatkan diriku melirik arah penyeberangan rel kereta menuju ke arah sekolahku. Berharap seseorang yang ku kenal ada pada waktu yang sama denganku, melintasi jalur itu.

Jarang sekali kudapati kesempatan itu, melihat seorang yang kuharapkan. Tapi rupanya Tuhan berkata lain hari ini. Lagi-lagi Tuhan memberikan kesempatan baiknya untukku. Di sudut mataku kulihat tas yang biasa dikenakan orang itu.

Makin kupercepat langkahku. Tidak berharap tinggi untuk mendahuluinya atau pun bisa berjalan bersamanya. Setidaknya aku bisa berada di belakangnya, walau hanya melihat punggungnya.

Tapi lagi-lagi Tuhan memberikan rencana baiknya untukku. Aku sendiri tak menyangka dia akan melihatku, menghentikan langkahnya, dan menungguku di trotoar itu. Suatu kebahagian, dalam pagiku yang terburu waktu.

Dengan degupan jantung yang begitu kencang di dadaku, karena berlari dan mungkin ada hal lainnya yang menggelitik hatiku. Aku meneruskan langkahku dan berhenti tepat dihadapannya.

Degup jantung itu pasti, penanda aku hidup. Tapi ini berbeda, jauh lebih cepat. Efek sehabis berlari? Atau karena dia bersamaku, tepat di sampingku? Tapi sepertinya hatiku lebih tahu, dan lebih mengerti apa penyebabnya.

Dengan gugup aku mengucapkan kalimat yang sepintas muncul di kepalaku. Senang, bahagia sekali. Tapi kucoba menahan diriku untuk tidak memperlihatkan semua ekspresi itu.

''Eh..., Kakak'' setengah berpura-pura seakan aku tak tahu dia ada di situ, mungkin juga karena masih merasakan efek terkejut karena dia mau menungguku.

''Buru-buru amat?'' ucapnya, mungkin karena dia sebelumnya tengah melihatku berlari, dan mungkin karena melihat kondisi ku yang...tidak dapat dijelaskan.

Jika aku bisa jujur, akan kukatakan bahwa aku sengaja mengejarmu. Namun bibirku berkata lain. ''Kirain udah telat.''

Kami pun berjalan kembali menyeberangi jalan raya dan menuju ke sekolah.

''Santai aja lagi,'' ucapnya. Entah karena dia melihatku kecapekan atau menyadari kegugupanku, hingga dia bisa berkata seperti itu.

''Emang jam berapa sekarang?'' tanyanya. Namun ia hanya bergumam 'oh' pelan, saat dia melihatku tak menggunakan jam tangan.

''Tadi jam tujuh kurang sepuluh, liat di sana'', kucoba untuk tetap menjawabnya, dengan mengingat jam yang kulihat di salah satu kios dekat stasiun.

Dia kembali menanyakan pelajaran apa yang akan diujikan hari itu. Aku pun menjawab dengan seadanya, dan menambahkan kalau aku belum belajar. Walaupun, tidak sepenuhnya aku belum belajar.

Kami pun tetap berjalan bersama sampai dekat gerbang sekolah dan dia meminta izin untuk mendahuluiku dan menyapa temannya di depan gerbang.

Aku pun bergegas menuju ruang ujianku, dengan sebelumnya melihat kartu legitimasi ujianku yang sedari tadi lupa aku cek. Baru kusadari waktunya, waktu mulai ujianku. Ujian dimulai pukul 7.30, masih setengah jam lagi dari waktu kedatanganku.

Yah...setidaknya aku tidak terlambat, untungnya. Dan mendapat bonus khusus akibat keburu-buruanku. :)

Ngantuk

Mulai bosan dengan rutinitas yang sebenarnya baru dimulai kembali.

Kampus, mall, rumah. Hampir seperti itu setiap harinya.

Kampus, seperti biasa diniatkan untuk mengerjakan beberapa tugas, mencicil tepatnya. Namun, dibanding tugas sepertinya interet lebih menggoda untuk disentuh.

Mall, bukan berarti mau jadi anak mall dengan menghabiskan waktu hampir setiap harinya ke mall. Dikarenakan kampus yang sengaja tidak menyediakan fasilitas kantin didalamnya, demi mengembangkan perekonomian warga sekitar kampus. Ditambah dengan jauh dan penuhnya beberapa tempat makan yang terpercaya. Mall, jadi salah satu alternatif kantin dadakan yang bisa dinikmati dengan adanya berbagai pilihan makanan, terutama di food court-nya. Intinya, fungsi mall pribadinya untuk saya, utamanya sebagai kantin. Dengan dungsi tambahan sebagai lahan cuci mata dari berbagai macam barang-barang yang dijajakan didalamnya.

Last, rumah. Jelas, sebagai tempat singgah terakhir dan awal singgah setelah beristirahat dan akan memulai aktivitas selanjutnya di hari berikutnya.

Yah, bosan memang. Mungkin tidak jika punya tujuan yang jelas dan pasti.

Tapi jika hanya menunggu, di tengah kekenyangan dan kecapekan, hasilnya hampir bisa ditebak, NGANTUK.


28082011

Mau Jadi Apa Nanti?

Aku suka menulis. Satu hal lagi yang benar-benar baru aku sadari belakangan ini. Terutama ketika aku memikirkan masa depanku. Mau jadi apa nanti?

Hmm...mau jadi apa nanti? Hal yang cukup serius dan agak sensitif mungkin buatku belakangan ini. Apalagi dengan beberapa masalah yang terjadi padaku sebulan terakhir.

Berpikir kembali, mau jadi apa nanti? Kembali lagi dengan pertanyaan yang sama, dengan jawaban yang masih tak pasti atau mungkin aku belum menyediakan jawabannya sama sekali.

Yah...dengan keadaan dan kondisi ku saat ini, disaat teman-teman dan orang-orang seusiaku yang sudah memikirkan dan merancang masa depannya dengan matang. Mereka yang sudah yakin akan melangkahkan kakinya kemana. Mereka yang sudah tahu dan siap dengan medan pertempuran yang akan mereka hadapi nantinya. Dan aku di sini, masih terombang-ambing sendiri dengan langkah pasti apa yang akan kuambil. Mau jadi apa nanti?

Sekolah, kuliah, bekerja, hal yang sepertinya wajar terjadi pada setiap orang. Begitu juga denganku, yang mungkin masih mengalir bersama hidupku. Menikmati hidupku, dengan berbagai macam keinginan liarku. Dan mungkin berpikiran nakal dengan membiarkan anganku melayang membawa cita masa depanku, yang harusnya menurutku, sudah menjadi jalan yang jelas untuk kulanjutkan nanti. Tapi nyatanya, 'mau jadi apa nanti?', cukup mengusik pikiranku disegala cara aku mencoba memperoleh ketenanganku kembali.

Banyak hal kucitakan dari mulai aku menginjak bangku sekolah, dan selalu berubah, hukum alam kah?

Saat SD, aku ingin menjadi pramugari. Saat itu aku berpikir, dengan begitu aku bisa keliling dunia, kemana saja, ke luar negeri! Cita-cita itu muncul begitu saja, mungkin karena pernah naik pesawat saat kecil kemudian ketagihan dan kebanyakan menonton TV yang menampilkan keuntungan dari naik pesawat. Yah, apalagi saat itu jika bisa pergi naik pesawat serasa bangga. Hahaha...pikiran lugu ku saat kecil. Tapi keinginan itu mulai hilang, terutama saat aku diberitahu kalau pramugari (saat itu) harus fasih berbahasa inggris, dan berbagai kriteria lainnya. Dengan pikiran seorang anak SD tentang bahasa inggris yang baru dikenalnya, baru sekali ada di kurikulum sekolah, dan hanya tahu dari menonton televisi, merasa tidak yakin dengan kemampuan berbahasa inggris, kuurungkan menjadi pramugari.

Saat SMP, mulai mengetahui tentang berbagai macam pekerjaan di luar sana. Saat itu, aku sedang tergila-gilanya dengan hal berbau Jepang. Mungkin salah satu pengaruh terbesarku waktu itu karena aku suka sekali mengoleksi komik-komik jepang dan menonton anime, sehingga aku mencari tahu tentang hal berbau Jepang, tepatnya kartun Jepang.

Dari mulai komik, majalah, poster, kaset, lagu, semua berhubungan dengan kartun Jepang. Bahkan, dibanding dengan perkembangan lagu di Indonesia, aku lebih tertarik dengan lagu Jepang, apalagi soundtrack anime. Aku sendiri sampai-sampai secara otodidak mempelajari bahasa jepang, dari membeli buku atau kamus jepang, menghafal huruf jepang (yang sampai sekarang hanya bisa hafal satu jenis huruf dari tiga jenis yang ada), hanya demi bisa membaca teks lagu pada anime jepang. Sampai pada satu hari, seorang teman mengatakan tentang suatu pekerjaan yang berhubungan dengan berbahasa Jepang, penerjemah. Dan mulai saat itu, aku menjadikan panerjemah khusus bahasa Jepang sebagai cita-citaku.

Lain lagi saat SMA. Masa peralihan yang membingungkan. Cukup bahkan sangat berpengaruh untuk penentuan masa depan, aku khususnya. Mau jadi apa nanti, sebenarnya sudah mulai dapat terbayang pada masa ini. Tapi sepertinya tidak denganku.

Kelas X, aku masih memiliki keinginan menjadi penerjemah, at least, saat kuliah nantinya masuk ke jurusan bahasa jepang atau tentang kebudayaan jepang.

Kelas XI, mulai berubah lagi, hal yang mempengaruhi karena aku masuk jurusan IPA, dan membuatku memiliki keinginan untuk masuk kuliah ke jurusan yang sesuai dan berhubungan dengan jurusanku ini. Sempat berpikir untuk mengambil jurusan yang berhubungan dengan pertanian, seperti ayahku. Saat itu, aku suka dengan pelajaran biologi, yah, setidaknya saat kuliah (inginnya) masuk ke jurusan yang berhubungan dengan biologi. Kemudian aku bertemu dengan sepupuku yang baru setahun lulus kuliah teknik arsitektur. Keinginan lain pun muncul.

Setelah beberapa kali bertanya tentang dunia perkuliahan arsitektur, aku pun berkeinginan masuk ke jurusan itu saat kuliah. Apalagi (katanya) saat itu, bisa dengan modal 'bisa gambar'. Aku yang suka gambar (karakter komik) dari SMP, makin tertarik untuk masuk ke jurusan tersebut.

Kelas XII, saatnya menentukan pilihan. Dan masih dengan aku yang masih samar-samar dengan jalanku. Keinginan lain pun datang lagi, entah kenapa aku jadi menyukai mendesain, desain baju. Mungkin lebih tepatnya menggambar baju-baju sesuai mauku dengan apa saja yang ada dalam pikiranku.

Kumulai goreskan tinta di kertas, menggambar satu, dua, tiga... desain baju. Ketertarikan baru lainnya dalam menggambar, selain menggambar ulang karakter komik. Namun jelas, gambarku biasa saja. Pernah kubawa ke kelasku, dan mengejutkan, mendapat tanggapan yang bagiku sangat positif dari teman-temanku yang melihat gambarku itu. Jujur akan persaanku saat itu, senang dan bangga. Sampai salah satu temanku saat itu menyarankan masuk sekolah desain. Hmm...sekolah desain? Sesuatu yang baru.

Sesuatu yang baru lagi. Sekolah desain, jarang bahkan hampir tidak pernah ku dengar mengenai sekolah yang mengkhususkan dalam bidang mendesain, baju setidaknya dalam kasusku. Sempat mencari-cari sedikit mengenai info yang berhubungan mengenai sekolah desain. Dan entah apa, aku rasa kebetulan, aku membaca novel pinjaman adikku yang berhubungan dengan desain-mendesain baju, dan ada info sekilas mengenai penjelasan sekolah desain, yang ku tahu saat itu jelas tidak murah.

Tapi desain, sepertinya pengertiannya lebih luas dalam mencakup beberapa bidang, tidak hanya baju. Berpikir ke belakang, desain pastinya hampir selalu berhubungan dengan gambar. Tidak hanya baju, selain itu pun bisa, kembali pikiranku terbang dalam dunia perarsitekturan.

Hmm..dan hei, tidak merasa kah? entah sejak kapan, aku tertarik dengan bidang arsitektur. Setiap aku mendatangi toko buku, 3 tempat pasti yang kudatangi komik dan novel, psikologi, dan arsitektur. Psikologi, karena aku suka membaca tentang buku-buku mengenai karakter dan temannya yang berhubungan untuk diri sendiri ataupun orang lain. Komik dan novel, karena aku memang menyukainya dari dulu. Arsitektur, terutama yang berkaitan dengan penataan interior atau eksteriornya (baca: taman), atau bentuk-bentuk bangunan yang unik.

Dan satu hal pasti, aku tertarik dengan semua itu. Sampai hari saat bedah kampus di universitas negeri yang cukup terkenal, yang acaranya mengenalkan jurusan-jurusan yang ada pada kampus tersebut. Stand jurusan yang aku datangi adalah arsitektur, dan psikologi.

Di stand jurusan aku menanyakan beberapa hal, dan fokusku saat itu menanyakan mengenai isu jurusan desain interior yang katanya akan dibuka pada tahun itu, dan dijawab memang mungkin seperti itu. Walaupun pada kenyataannya, ternyata tahun itu belum dibuka, namun tahun berikutnya.

Yah...seperti calon mahasiswa lainnya saat itu, aku pun mengikuti SPMB, tes untuk masuk ke perguruan tinggi negeri, dan well...sayangnya aku tidak termasuk ke dalam daftar salah satu yang lulus dengan pilihan jurusan berbeda pada universitas yang berbeda. Haha..abaikan.

Pada akhirnya, disinilah aku. Dengan pilihanku, jurusan teknik arsitektur, di salah satu universitas swasta yang cukup dikenal di kotaku dan sekitarnya. Dan sampai saat ini aku masih menganggap memilih jurusan ini karena panggilan hati, itu yang selalu kukatakan pada diriku sendiri.

Yah...wajar aku berpikir begitu. Apalagi jika ditanya (terutama saat awal perkuliahan), kenapa masuk jurusan arsitektur? Aku pribadi mengatakan itu keinginanku sendiri, jelas. Walaupun mungkin ada beberapa temanku atau mungkin mahasiswa arsitektur lainnya dimana pun, yang memilih jurusan ini karena keinginan orangtua mereka, yang ku tahu biasanya orangtua mereka memang dekat dan bergerak dalam bidang ini. Berbeda dengan diriku yang berasal dari keluarga biasa dan orangtuaku yang pegawai pertanian dan guru, yang membebaskan diriku memilih jurusan yang aku mau.

Kembali berpikir, mau jadi apa nanti, seharusnya sudah jelas dari ceritaku. Seharusnya. Apalagi menjalani kuliah merupakan salah satu persiapan untuk menghadapi dunia kerja nantinya. Tapi kembali lagi aku bertanya pada diriku, mau jadi apa nanti?

Dengan jurusan apa yang kuambil seharusnya aku sudah tahu akan menjadi apa, mengarah kemana, sudah terbayang tujuannya.

Tapi pada kenyataannya, toh dunia tidak hanya selebar daun kelor. Tengok juga ke dunia arsitektur, tidak hanya sesempit apa yang aku bayangkan sebelum mulai mendalami bidang ini. Tidak hanya masuk jurusan arsitektur dan Voila! lulus dan pasti menjadi arsitek. Tidak seperti itu, tidak segampang dan seajaib menjentikkan jari.

4 tahun menjalani kuliah di jurusan arsitektur, yang semakin membuatku sadar. Dunia arsitektur itu luas, luas sekali, dan tidak selalu pasti menjadi arsitek pada akhirnya, yang ku maksud diakui menjadi arsitek dalam dunia kerja.

Kenyataan yang wajar, mungkin bidang lainnya pun seperti itu. Pintu yang dikira telah mempersempit jangkauan pandang, ternyata memberikan pandangan yang lebih luas lagi, dalam bidang tertentu tentunya. Seperti halnya pandanganku terhadap dunia arsitektur.

Banyak hal yang membuka pandanganku, terutama dalam hal dunia pekerjaan di jurusan yang aku dalami saat ini. Dosen, pekerjaan pertama yang paling jelas kulihat dari lulusan jurusanku, tentunya dosen untuk mata kuliah yang berhubungan dengan bidang arsitektur, walaupun tidak tertutup kemungkinan untuk mata kuliah lainnya.

Sepertinya memang satu pekerjaan yang wajar, karena banyak alumni yang menjadi dosen di kelasku, walaupun mereka juga memiliki pekerjaan lainnya, yang biasa kami sebut proyek, suatu aplikasi nyata dari lulusan jurusan ini. Dosen merupakan satu contoh nyata, karena setiap perkuliahan bertemu dan merasakan sendiri.

Banyak pekerjaan lainnya di bidang (arsitektur) ini, perencana, konsultan, fotografer, surveyor, designer interior atau eksterior, landscaper, arsitek sendiri yang dibagi menjadi beberapa jenis, dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan atau bahkan belum kuketahui. Wow! Tidak menyangka sebelumnya.

Berpikir lagi, mau jadi apa nanti. Dengan bayangan pekerjaan yang terpampang sebenarnya sudah makin jelas mau kemana. Semua butuh skill, jelas. Semua pekerjaan butuh skill, kemampuan yang nyata, tidak hanya secarik kertas nilai yang menampilkan IP tinggi. Kusadari itu, cukup jelas, dan kutanamkan dalam pemikiranku.

Skill? Menggambar juga skill, begitu juga mendesain, baik itu sketsa atau menggunakan perangkat elektronik. Gambar dan desain, hal yang wajar jika menjadi salah satu skill utama dalam jurusanku. Apa itu saja cukup?

Hal lain yang kusadari lagi selama menjalani kuliah, itu saja tidak cukup, jika tidak inovatif, setidaknya menonjol dalam segi desain atau kemampuan penguasaan gambar atau desain atau pengolahannya. Aku tak tahu pandangan itu benar atau tidak, yah, tapi itulah menurutku.

Kupandangi lagi diriku, kupandangi teman-temanku, dan sadar ataupun tidak, aku mulai membandingkan diriku dengan mereka. Apa lebihku dibanding mereka, apa kurangku dibanding mereka.

Dan seperti kebanyakan orang lainnya, yang kulihat terlebih dahulu adalah yang kurang, dan menjadi terpuruk sendiri karena itu, apalagi ditambah dengan keadaan emosi yang masih agak labil karena gagal dalam menuju salah satu sidang akhir.

Kubandingkan diriku dengan teman-temanku, mereka yang memiliki desain yang menakjubkan, mereka yang memiliki pengolahan desain yang apik, manual ataupun tidak, mereka yang..... sudahlah, tidak habis dan tidak bagus rasanya jika hanya melihat, membandingkan, dan hanya terpuruk sendiri dengan semua itu.

Walau berpikir seperti itu, tetap saja masih berpikiran, "sedangkan aku?". Hahaha...dasar manusia.

Aku sadar, sepenuhnya, mungkin saja kemampuanku memang tidak sehebat mereka, tidak lebih hebat dari mereka. Desainku mungkin biasa-biasa saja, pengolahan desain dengan menggunakan perangkat pun masih dalam proses pembelajaran. Yah..standar mungkin untuk semuanya.

Tapi, hei! aku masih punya semangatku, walau naik-turun, tapi aku bangga dengan semangatku. Aku juga mau berusaha. Lagipula, siapa lagi yang bisa mengenal diriku lebih baik kecuali aku sendiri. Siapa lagi yang mau memuji dan menyenangkan diriku lebih baik dibandingkan aku sendiri. Jadi, ayo tarik napas sejenak, buang segala pikiran negatif tentang diri sendiri bersama dengan helaan napasku, refresh semuanya, be positive!

Kulihat kembali diriku, dengan semua yang baik, aku tahu aku bisa melihat apa yang sebenarnya aku punya, apa yang aku inginkan, dan berdoa, berharap semuanya menjadi semakin jelas dalam membantuku melangkah ke depan nantinya. Dan, mau jadi apa nanti, aku pun punya jawabannya walau masih belum 100%. Tapi yakinlah, itu salah satu citaku saat ini.

Kembali ke awal, kukatakan bahwa aku suka menulis. Ya, aku suka menulis atau mengetik. Kusampaikan ekspresi perasaanku lewat tulisan, kuceritakan hariku melalui tulisan, kututurkan haru-bahagiaku lewat tulisan. Semua yang kurasa. Hobi? bisa jadi. Termasuk skill kah? aku pun tak tahu.

Hubungannya dengan mau jadi apa nanti? Aku tidak yakin dan juga tidak berani mengatakannya saat ini. Aku suka menulis dalam rangkaian kata, hanya itu yang bisa kusampaikan.

Tapi jika boleh bermimpi sedikit lagi, bolehkah aku berharap dengan dan melalui tulisan?

Citaku bertambah lagi. Tidak ingin muluk-muluk. Sebuah pemikiran yang wajar. Mimpi yang ingin dijadikan tujuan kelak.

Apa yang kusuka, kudalami, kumiliki, kupelajari, kulihat, dan kurasakan saat ini, ingin kujadikan tujuan. Bisakah?

Tujuan dalam langkah kecilku merupakan korelasi antara hobiku, kuliahku, rasaku, pengalamanku. Mungkinkah?

Kembali lagi berpikir positif, jalani, berusaha, berharap, dan berdoa. Tuhanku, izinkan aku menggapai citaku yang menjadi tujuanku. Izinkan dan bantu aku membanggakan diriku, orang tuaku, dan keluargaku, serta orang-orang yang kusayangi. Amiin.

Mau jadi apa nanti?

Hmm...we will see. :)

06062011