Kamis, 02 Desember 2010

WAJAH BARU DEPOK MALL

Depok Mall, siapa yang tidak kenal? Apalagi jika kita bermukim di wilayah Depok sekitarnya, khususnya yang sering lewat di Jalan Margonda Raya.

Depok Mall disini bukan Mall Depok Town Square atau (Mall Depok) Margo City, lambang mall-nya saja beda. Mall Depok yang dimaksud disini adalah mall yang berada dekat dengan terminal Depok dan Fly Over Arif Rahman Hakim, bukan ITC Depok atau Plaza Depok, ya.

Fasade Mall Depok sebelum direnovasi

(Sumber : Google images)

Bagi yang sering melintasi jalan Margonda pasti tahu mall ini. Tapi apa yang berbeda? Jika ditanya perbedaannya, pasti jelas terlihat. Mulai tahun 2010, warga Depok sudah bisa menikmati ‘wajah’ baru dari Mall Depok.

Wow...wajah baru, tampilan baru dari Depok Mall yang lebih modern dan lebih fresh!

Jika dibandingkan dengan ‘wajah’ lama atau bahasa kerennya fasade lama dari Depok Mall, fasade yang sekarang lebih menarik untuk dilihat. Dibandingkan dengan bangunan lama berwarna merah-orange (merah sebelum di cat lagi jadi orange, tampilan depok mall sebelum tampilannya yang sekarang) yang terkesan agak masif dan biasa saja, apalagi di tengah pembangunan mall-mall di Depok yang semakin gencar.

Mungkin sang pemilik tidak mau kalah dengan tampilan dari mall-mall lain, seperti Depok Town Square ataupun Margo City. Apalagi Margo City, ya, yang terkenal dengan ‘ice cream cone’ - nya seperti sudah menjadi icon (baru) tersendiri di kota Depok.

Depok Town Square

Margo City

(Sumber : Google images)

Memang persaingan bangunan komersil, terutama mall, di Kota Depok dapat terlihat secara nyata ataupun kasat mata. Bayangkan saja, di sepanjang jalan Margonda sudah terdapat 5 bangunan komersil yang besar. Dari mulai ITC Depok, Plaza Depok, Depok Mall, Depok Town Square, dan Margocity.

Jadi, agar tidak kalah saing dengan mall lainnya, Depok Mall memperbaharui tampilannya. Walaupun tampilan bentuknya tetap kotak. Namun bukan lagi seperti dulu, sekarang kedinamisan tampak dari fasade mall yang baru, sehingga terlihat lebih fresh dan lebih masa kini (kalau tidak mau dibilang modern).

Fasade baru Mall Depok

(Sumber : foto teman pakai Hp, plus editan sendiri)

Dengan permainan dari bentukan massa kotak yang seperti bertumpuk pada bagian depannya, memberikan kesan estetik yang baru dan lebih dinamis. Ditambah lagi dengan permainan warna sehingga menarik mata dari orang - orang yang melintas. (Walaupun saya pribadi lebih ingin ada warna hijau pada fasade barunya, biar kayak pelangi, merah, kuning, hijau di langit yang biru..hahaha.. :))

Permainan warna pada fasade Mall Depok

Terlihat juga pada bagian kolom - kolom eksteriornya yang sepertinya memang sengaja diekspose, karena bentuknya yang tidak sepeti kolom - kolom lainnya yang cenderung berbentuk lurus dan vertikal. Bentukan kolom yang dapat kita lihat jika kita melintas didepannya berbentuk seperti huruf "V", atau bisa juga disebut kolom garpu (kalau ada yang punya data tentang kolom seperti ini, mohon dikoreksi ya.. :))

Kolom eksterior pada Mall Depok

Hall untuk main entrance - nya juga sudah berbeda, lebih tinggi, mengambil jatah 2 lantai. Untuk saya pribadi sih, "Wow...", benar-benar berbeda dari tampilannya yang lama. Terlihat juga adanya balkon pada bagian depan lantai di atas ground floor, walaupun saya masih belum tahu balkon tersebut boleh dimasuki secara umum atau tidak.

Penataan landscape yang apik pun juga dapat dilihat pada bagian depan mall, sepertinya saat ini mall di Kota Depok, khususnya Mall Depok, juga memperhatikan penataan landscape sebagai bagian dari mall-nya yang juga dapat menjadi daya tarik dan menambah nilai plus dari mall tersebut.

Sayangnya, saat saya membuat tulisan ini, saya masih belum menapaki kaki ke dalam area Mall Depok dengan tampilannya yang baru. Terakhir, saat makan siang bersama teman kuliah, saat masih di renovasi. Kalau bagian dalamnya, waah..lama sekali saya tidak melihat, terutama sejak munculnya mall-mall baru di Depok. Ingin sesekali mencoba mencicipi masuk ke dalam Mall Depok yang baru ini. Ingin melihat bagaimana bagian dalam dari mall ini, apa juga membuat kejutan-kejutan baru seperti halnya tampak luarnya?


Berikut foto bagian dalam Depok Mall yang saya dapat dari Google images :


Yah...setidaknya, dengan wajah baru dari Depok Mall ini, membuat orang, khususnya saya, ingin melihat secara langsung dan merasakan sendiri bagaimana Depok Mall yang baru ini. Hal ini juga menunjukkan, bahwa Depok Mall telah siap bersaing dengan mall lainnya di Kota Depok.

Sabtu, 20 November 2010

Tugas Editing Archicad





Walo nggak bagus-bagus banget..seenggaknya gw ngedit ndiri en buat ndiri..hehehehe..

karena karya sendiri..jadi bisa lah di publish...hehehehe...

^^v

Rabu, 19 Mei 2010

KEPADATAN

Berikut definisi kepadatan menurut beberapa ahli :
- Kepadatan menurut Sundstrom (dalam Wrightsman & Deaux, 1981), yaitu sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan.
- Sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFaring, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978).
- Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).

Penelitian tentang kepadatan manusia berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun. Penelitian Calhoun (dalam Worche dan Cooper, 1983) bertujuan untuk mengetahui dampak negatif kepadatan dengan menggunakan hewan percobaan tikus. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perilaku kanibal pada hewan tikus seiring dengan bertambahnya jumlah tikus. Pertumbuhan populasi yang tak terkendali, memberikan dampak negatif terhadap tikus – tikus tersebut. Terjadi penurunan fisik pada ginjal, otak, hati, dan jaringan kelenjar, serta penyimpangan perilaku seperti hiperaktif, homoseksual, dan kanibal. Akibat keseluruhan dampak negatif tersebut menyebabkan penurunan kesehatan dan fertilitas, sakit, mati, dan penurunan populasi.

Penelitian terhadap manusia pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi, 1991) mencoba memerinci: bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku sosial; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja tugas)? Hasilnya memperlihatkan ternyata banyak hal-hal yang negatif akibat dari kepadatan, diantaranya :
- Pertama, ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.
- Kedua, peningkatan agresivitas pada anak – anak dan orang dewasa (mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung) bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama, dan tolong-menolong sesama anggota kelompok.
- Ketiga, terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks.

Dalam penelitian tersebut diketahui pula bahwa dampak negatif kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria lebih memiliki perasaan negatif pada kepadatan tinggi bila dibandingkan wanita. Pria juga bereaksi lebih negatif terhadap anggota kelompok, baik pada kepadatan tinggi ataupun rendah dan wanita justru lebih menyukai anggota kelompoknya pada kepadatan tinggi.

Pembicaraan tentang kepadatan tidak terlepas dari masalah kesesakan. Kesesakan atau crowding merupakan persepsi individu terhadap keterbatasan ruang, sehingga lebih bersifat psikis (Gifford, 1978; Schmidt dan Keating, 1979; Stokois dalam Holahan, 1982). Kesesakan terjadi bila mekanisme privasi individu gagal berfungsi dengan baik karena individu atau kelompok terlalu banyak berinteraksi dengan yang lain tanpa diinginkan individu tersebut (Altman, 1975).

Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat fakktor, yaitu:
a. Karakteristik seting fisik.
b. Karakteristik seting sosial.
c. Karakteristik personal.
d. Kemampuan beradaptasi.

Keempat faktor ditambah dengan kepadatan tersebut dapat dirangkum pada skema berikut:


Gambar 1.3. Diagram Proses Kepadatan Menjadi Kesesakan
Sumber: Baum dan Paulus (1987)

Berdasarkan skema tersebut, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara kepadatan dan kesesakan bukanlah suatu hubungan sebab – akibat, melainkan kepadatan merupakan salah satu syarat terjadinya kesesakan.

Kategori Kepadatan
- Menurut Altman (1975), variasi indikator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku sosial. Variasi indikator kepadatan itu meliputi :
a. jumlah individu dalam sebuah kota
b. jumlah individu pada daerah sensus
c. jumlah individu pada unit tempat tinggal
d. jumlah ruangan pada unit tempat tinggal
e. jumlah bangunan pada lingkungan sekitar dan lain – lain.
- Jain (1987) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan dipengaruhi oleh unsur – unsur, yaitu :
a. jumlah individu pada setiap ruang
b. jumlah ruang pada setiap unit rumah tinggal
c. jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian
d. jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman.

Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori. Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategori, yaitu :
- kepadatan spasial (spatial density), terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap
- kepadatan sosial (social density), terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.
Altman (1975) membagi kepadatan menjadi :
- kepadatan dalam (inside density), yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar;
- kepadatan luar (outside density), yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.
Zlutnick dan Altman (dalam Altman, 1975: Holahan, 1982) menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukkan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman, yaitu:
(1) Lingkungan pinggiran kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang rendah;
(2) Wilayah desa miskin di mana kepadatan dalam tinggi sedangkan kepadatan luar rendah; dan
(3) Lingkungan Mewah Perkotaan, di mana kepadatan dalam rendah sedangkan kepadatan luar tinggi;
(4) Perkampungan Kota yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang tinggi.


Gambar 2.3. Profil Kepadatan Menurut Zlutnik dan Altman
Sumber: Altman (1975)

Akibat Kepadatan Tinggi
Menurut Heimstra dan Mc Farling (1978) kepadatan memberikan akibat bagi manusia baik secara fisik, sosial maupun psikis. Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain (Heimstra dan McFarling, 1978).
Akibat secara sosial antara lain adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan McFarling, 1978; Gifford, 1987).
Akibat secara psikis antara lain: stres, menarik diri, perilaku menolong (perilaku prososial), kemampuan mengerjakan tugas, perilaku agresi.

KESESAKAN

Beberapa definisi kesesakan menurut beberapa ahli :
- Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) tidaklah jelas benar, bahkan kadang – kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikian secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu ksatuan ruang.
- Stokols (dalam Altman, 1975) membedakan antara kesesakan bukan sosial (nonsocial crowding), yaitu dimana factor – factor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempit, dan kesesakan sosial (social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan molekuler (molecular crowding), yaitu perasaan sesak yang menganalisa mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian-kejadian interpersonal dan kesesakan molar (molar crowding), yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota.
- Morris (dalam Iskandar, 1990) memberi pengertian kesesakan sebagai defisit suatu ruangan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya sejumlah orang dalam suatu hunian rumah, maka ukuran per meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang. Dalam suatu unit hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan yang diperlukan untuk suatu aktivitas. Oleh karenanya untuk setiap ruang akan memerlukan suatu ukuran standar ruang yang berbeda, karena fungsi dari ruang itu berbeda.
- Rapoport (dalam Stokols dan Altman, 1987) mengatakan, kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang dirasa tidak mencukupi, sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kesesakan
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesesakan yaitu: personal, sosial, dan fisik, yang akan dibahas satu persatu.
Faktor Personal. Faktor personal terdiri dari :
a) Kontrol pribadi dan locus of control
b) Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi
Faktor Sosial. Faktor sosial yang berpengaruh adalah:
a) Kehadiran dan perilaku orang lain
b) Formasi koalisi
c) Kualitas hubungan
d) Informasi yang tersedia
Faktor Fisik. Gove dan Hughes (1983) menemukan bahwa kesesakan di dalam rumah berhubungan dengan faktor – faktor fisik yang berhubungan dengan kondisi rumah seperti jenis rumah, urutan lantai, ukuran rumah (perbandingan jumlah penghuni dan luas ruangan yang tersedia) dan suasana sekitar rumah. Jenis rumah di sini dibedakan atas unit hunian tunggal, kompleks perubahan dan rumah susun. Menurut beberapa penelitian didapati bahwa kesesakan yang paling tinggi ada pada rumah susun, kemudian pada kompleks perumahan dan baru setelah rumah tunggal (unit hunian tunggal).
Altman (1975), Bell dan kawan-kawan (1978), Gove dan Hughes (1983) menambahkan adanya faktor situasional sekitar rumah sebagai faktor yang juga mempengaruhi kesesakan. Stressor yang menyertai faktor situasional tersebut seperti suara gaduh, panas, polusi, sifat lingkungan, tipe suasana, dan karakteristik seting (tipe rumah, tingkat kepadatan). Faktor situasional tersebut antara lain:
a) Besarnya skala lingkungan
b) Variasi arsitektural

Pengaruh Kesesakan Terhadap Perilaku Menurut Beberapa Ahli
- Aktivitas seseorang akan terganggu oleh aktivitas orang lain
- Interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam mencapai tujuan personalnya
- Gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan (Epstein, 1982) serta disorganisasi keluarga, agresi, penarikan diri secara psikologi (psychological withdrawal)
- Menurunnya kualitas hidup (Freedman, 1973).
- Penurunan – penurunan psikologis, fisiologis, dan hubungan sosial individu. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stres, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat, dan bahkan juga gangguan mental yang serius.
- Malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala – gejala psikosomatik, dan penyakit – penyakit fisik yang serius (Worchel dan Cooper, 1983).
- Kenakalan remaja, menurunnya sikap gotong-royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan sosial, berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkurangnya intensitas hubungan sosial (Holahan, 1982)
- Fisher dan Byrne (dalam Watson dkk., 1984) menemukan bahwa kesesakan dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan menyelesaikan tugas yang kompleks, menurunkan perilaku sosial, ketidaknyamanan dan berpengaruh negatif terhadap kesehatan dan menaikkan gejolak fisik seperti naiknya tekanan darah (Evans, 1979).

Dari sekian banyak akibat negatif kesesakan pada perilaku manusia, Brigham (1991) mencoba menerangkan dan menjelaskannya menjadi :
(1) pelanggaran terhadap ruang pribadi dan atribusi seseorang yang menekan perasaan yang disebabkan oleh kehadiran orang lain;
(2) keterbatasan perilaku, pelanggaran privasi dan terganggunya kebebasan memilih;
(3) kontrol pribadi yang kurang
(4) stimulus yang berlebihan.
Freedman (1975) memandang kesesakan sebagai suatu keadaan yang dapat bersifat positif maupun negatif tergantung dari situasinya. Jadi kesesakan dapat dirasakan sebagai suatu pengalaman yang kadang-kadang menyenangkan dan kadang-kadang tidak menyenangkan.
Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negatif pada perilaku seseorang, tetapi menurut Altman (1975) dan Watson dkk. (1984), kesesakan kadang memberikan kepuasan dari kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang diinginkan, waktu dan situasi tertentu, serta setting kejadian. Situasi yang memberikan kepuasan dan kesenangan bisa kita temukan, misalnya pada waktu melihat pertunjukan musik, pertandingan olahraga atau menghadiri reuni atau resepsi.

Minggu, 11 April 2010

PRIVASI MANUSIA

Privasi adalah keinginan atau kecenderungan pada diri seseorang untuk tidak diganggu kesendiriannya.

Dalam ilmu psikoanalis, privasi berarti dorongan untuk melindungi ego seseorang dari gangguan yang tidak dikehendakinya. Privasi merupakan suatu proses yang sangat penting dalam hidup manusia. Untuk mampu mendapatkan privasi, seseorang harus terampil membuat keseimbangan antara keinginannya dengan keinginan orang lain dan lingkungan fisik di sekitarnya.

Amos (1977) mengemukakan bahwa privasi adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mengendalikan interaksi mereka dengan orang lain baik secara visual, audial, maupun olfaktori untuk mendapatkan apa yang diinginkannyaa.

Irwin Altman (1975), seorang tokoh dalam psikologi lingkungan, dalam gagasannya mengenai privasi mendefinisikan privasi sebagai kontrol selektif dari akses pada diri sendiri ataupun kelompok.

Setiap orang mendambakan berada ditempat khusus yang menjadi favoritnya bersama seseorang yang dikasihinya, dalam hal ini kedua insan ini mencari privasi. Atau sekelompok remaja ingin merayakan suatu acara pesta ulang tahun, atau bercanda bersama kelompok bermainnya tanpa diganggu kelompok lain. Di sini mereka mendapatkan privasi. Ini yang dimaksudkan Altman sebagai akses pada diri sendiri ataupun kelompok.

Altman melihat privasi sebagai konsep sentral dari semua proses manajemen ruang. Ruang personal dan teritori merupakan mekanisme ketika orang dapat mengatur privasinya dan kesesakan (crowding) merupakan kegagalan memperoleh privasi. Berikut skema model privasi :


JENIS PRIVASI

Holahan (1982) pernah membuat alat untuk mengukur kadar dan mengetahui jenis privasi dan ia mendapatkan bahwa ada enam jenis privasi, terbagi dalam dua golongan, yaitu :

  1. Golongan pertama adalah keinginan untuk tidak diganggu secara fisik.

- Keinginan menyendiri (solitude)

- Keinginan menjauh (seclusion) dari pandangan dan gangguan suara

- Keinginan untuk intim dengan orang-orang (intimacy)

  1. Golongan kedua adalah keinginan untuk menjaga kerahasiaan diri sendiri yang terwujud dalam tingkah laku hanya memberi informasi yang perlu (control of information), yaitu :

- Keinginan merahasiakan diri sendiri (anonymity)

- Keinginan untuk tidak mengungkapkan diri terlalu banyak kepada orang lain (reserve)

- Keinginan untuk tidak terlibat dengan para tetangga (not neighboring). Tidak suka kehidupan bertetangga


TUJUAN PRIVASI

Privasi mempunyai tujuan sebagai berikut :

  1. Memberikan perasaan berdiri sendiri, mengembangkan identitas pribadi. Privasi merupakan bagian terpenting dari ego seseorang atau identitas diri.
  2. Memberi kesempatan untuk melepaskan emosi. Dalam kesendirian seseorang bisa berteriak keras-keras, menangis, memandang wajahnya sendiri di cermin, dan berbicara dengan dirinya sendiri.
  3. Membantu mengevaluasi diri sendiri, menilai diri sendiri.
  4. Membatasi dan melindungi diri sendiri dari komunikasi dengan orang lain. salah satu alasan seseorang mencari privasi adalah membatasi dan melindungi percakapan yang dibuatnya.


PRIVASI DALAM DESAIN ARSITEKTUR

Tujuan dari perancangan adalah memberikan setiap orang privasi sebesar mungkin sesuai dengan yang diinginkannya meskipun hal ini tidak berarti membangun rumah, kantor, sekolah, atau bangunan-bangunan umum berupa kompartemen terpisah bagi setiap orang.

Yang penting adalah hidup dan bekerja dalam suatu tatanan yang memungkinkan bagi seorang individu untuk memilih keterbukaan atau ketertutupan dalam berinteraksi dengan orang lain. Karena itu, lahirlah hierarki ruang, mulai dari ruang yang sangat publik hingga ruang yang sangat pribadi atau privat.

Berikut jenis – jenis penataan ruang :

  1. Penataan Ruang Publik

Merupakan penataan ruang agar pertemuan antara orang – orang asing, yang tidak saling mengenal dapat terjadi dengan tenang dan efisien. Hal ini juga berarti merancang penataan ruang agar terjadi interaksi yang positif di antara sesama orang asing yang akan berinteraksi, misalnya makan bersama di plaza atau ruang – ruang bersama.

  1. Ruang Semi – publik

Bersifat sedikit lebih privat daripada ruang publik, seperti koridor di sebuah apartment, taman – taman umum di lingkungan perumahan, di sekolah, atau lobi.

  1. Ruang Semi Private

Termasuk tempat – tempat seperti kantor dengan tatanan terbuka, ruang kumpul para dosen, ruang tunggu VIP, atau ruang keluarga tempat kelompok orang heterogen yang dapat bertemu, namun, tetap tidak terbuka untuk kelompok lainnya.

  1. Ruang Private

Biasanya hanya terbuka bagi seseorang atau sekelompok kecil.



Sumber : “Arsitektur dan Perilaku Manusia”, Joyce Marcella Laurens

TERITORIAL MANUSIA

Teritorialitas merupakan suatu perwujudan “ego” sesorang yang dikarenakan orang tersebut tidak ingin diganggu, atau dapat juga dikatakan sebagai suatu perwujudan dari privasi seseorang.


Indikator dari teritorial manusia itu sendiri dapat dengan mudah kita temukan di lingkungan sekitar kita, contohnya saja seperti pagar batas, papan nama, ataupun papan pengumuman yang mencantumkan kepemilikan suatu lahan.

Julian Edney (1974) mendefinisikan teritorialitas sebagai sesuatu yang berkaitan dengan ruang fisik, tanda, kepemilikan, pertahanan, penggunaan yang eklusif, personalisasi, dan identitas. Termasuk di dalamnya dominasi, kontrol, konflik, keamanan, gugatan akan sesuatu, dan pertahanan.

Teritori sendiri memiliki pengertian wilayah atau daerah, dan teritorialitas adalah wilayah yang dianggap sudah menjadi hak seseorang. Misalnya, kamar tidur seseorang adalah wilayah yang sudah menjadi hak seseorang. Meskipun yang bersangkutan (pemiliknya) tidak sedang tidur di sana dan ada orang yang memasuki kamar tersebut tanpa izinnya, maka ia (si pemilik) akan merasa tersinggung karaena daerah teritorialitasnya sudah dilanggar dan ia akan marah.

Contoh lainnya misalnya saja pada bangku – bangku di kantin. Walaupun secara umum, kantin merupakan daerah publik – service, namun apabila ada orang yang sedang menempati salah satu bangku kantin tersebut, kemudian orang tersebut ingin pergi untuk memesan makanan ataupun untuk ke toilet, dan ia meninggalkan sesuatu seperti tas atau buku di atas meja / bangku kantin tersebut, orang lain yang melihat tempat tersebut dalam kondisi seperti itu diharapkan tahu bahwa bangku tersebut sudah menjadi teritori orang yang meletakkan barang – barangnya (buku / tas) tadi, sehingga orang lain tidak menduduki tempat tersebut tadi.

Dari contoh tersebut di atas, teritorialitas dapat juga diartikan sebagai suatu pola tingkah laku yang ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas suatu tempat atau suatu lokasi geografis.

Fisher mengatakan bahwa kepemilikan atau hak dalam teritorialitas ditentukan oleh persepsi orang yang bersangkutan sendiri. Persepsi ini bisa dalam bentuk aktual, yaitu memang pada kenyataannya memang benar ia (pemiliknya) yang memiliki, seperti kamar tidur, tetapi bisa juga hanya berupa kehendak untuk menguasai atau mengontrol suatu tempat, seperti meja makan di kantin.

Permasalahannya di sini adalah aktualisasi persepsi itu sendiri bisa menjadi sangat subjektif. Misalnya, jika seorang penghuni liar di perkampungan kumuh di sebuah kota besar diharuskan meninggalkan gubuknya, ia akan menolak karena ia merasa gubuk itu sudah menjadi teritorinya. Ia merasa sudah menguasai tempat itu bertahun – tahun tanpa ada yang mengusiknya.

Jadi, dapat dikatakan bahwa teritorialitas merupakan suatu pola tingkah laku yang berhubungan dengan kepemilikan atau hak seseorang, yang ditentukan oleh persepsi dari masing – masing orang, dimana persepsi tersebut dapat bersifat objektif ataupun subjektif, dimana si pemilik (secara legal atau tidak) akan merasa tersinggung jika daerah yang sudah dianggap miliknya tersebut diganggu.

KLASIFIKASI TERITORIALITAS

Ada berbagai macam teritori, ada yang besar, ada yang kecil, ada pula yang terdapat di dalam teritori lainnya atau saling berbagi satu sama lain. Dengan mengenal klasifikasi teritori merupakan salah satu cara untuk mengerti bagaimana suatu teritori seperti tersebut di atas dapat terjadi.

Tingkah laku teritorialitas manusia mempunyai dasar yang agak berbeda dengan binatang karena teritorialitas manusia berintikan pada privasi. Teritorialitas manusia memiliki fungsi yang lebih tinggi daripada sekedar fungsi mempertahankan hidup (seperti yang terdapat pada teritorialitas hewan). Pada manusia, teritorialitas tidak hanya berfungsi sebagai perwujudan privasi saja, tetapi lebih jauh lagi teritorialitas juga mempunyai fungsi sosial dan komunikasi.

Pengklasifikasian teritori yang terkenal adalah klasifikasi yang dibuat oleh Altman (1980) yang didasarkan pada derajat privasi, afiliasi, dan kemungkinan pencapaian.

  1. Teritori Primer

Yaitu tempat – tempat yang sangat pribadi sifatnya, hanya boleh dimasuki oleh orang – orang yang sudah sangat akrab atau yang sudah mendapat izin khusus. Teritori ini dimiliki oleh perseorangan atau sekelompok orang yang juga mengendalikan penggunaan teritori tersebut secara relatif tetap, berkenaan dengan kehidupan sehari – hari ketika keterlibatan psikologis penghuninya sangat tinggi. Misalnya ruang tidur atau ruang kantor.

  1. Teritori Sekunder

Yaitu tempat – tempat yang dimiliki bersama oleh sejumlah orang yang sudah cukup saling mengenal. Kendali pada teritori ini inti tidaklah sepenting teritori primer dan kadang berganti pemakai, atau berbagi penggunaan dengan orang asing. Misalnya ruag kelas, kantin kampus, dan ruang latihan olah raga.

  1. Teritori Publik

Yaitu tempat – tempat yang terbuka untuk umum. Pada prinsipnya, setiap orang diperkenankan untuk berada di tempat tersebut. Misalnya pusat perbelanjaan, tempat rekreasi, lobi hotel, dan ruang sidang pengadilan yang dinyatakan terbuka untuk umum.

Terkadang teritori publik dikuasai oleh kelompok tertentu dan tertutup bagi kelompok lain, seperti bar yang hanya untuk orang dewasa atau tempat – tempat hiburan yang terbuka untuk dewasa umum, kecuali anggota ABRI, misalnya.

Selain pengklasifikasian tersebut, Altman (1975) juga mengemukakan dua tipe teritori lainnya, yaitu objek dan ide. Selain itu, Lyman dan Scott (1967) juga membuat klasifikasi tipe teritorialitas yang sebanding dengan Altman, yaitu teritori interaksi (interaractional territories) dan teritori badan (body territory).

Teritori interaksi ditujukan pada daerah yang secara temporer dikendalikan oleh sekelompok orang yang berinteraksi. Misalnya, sebuah tempat perkemahan yang sedang dipakai oleh sekelompok remaja untuk kegiatan perkemahan, dll. Apabila terjadi intervensi ke dalam daerah ini, tentunya akan dianggap sebagai gangguan.

Untuk teritori badan dibatasi oleh badan manusia. Namun, berbeda dengan ruang personal karena batasannya bukanlah ruang maya, melainkan kulit manusia, artinya segala sesuatu yang mengenai kulit manusia tanpa izin akan dianggap sebagai gangguan, sehingga orang akan mempertahankan diri terhadap gangguan tersebut.

BENTUK PELANGGARAN DAN PERTAHANAN TERITORI

Bentuk – bentuk pelanggaran teritori yang dapat diindikasikan diantaranya, yaitu :

- Invasi

- Kekerasan

- Kontaminasi

Pertahanan yang dapat dilakukan pemilik teritori diantaranya, yaitu :

- Pencegahan, seperti memberi lapisan pelidung, memberi rambu – rambu, atau pagar batas sebagai antisipasi sebelum terjadi pelanggaran.

- Reaksi sebagai respons terjadinya pelanggaran, seperti langsung menghadapi si pelanggar.

- Batas sosial. Digunakan pada tepi teritori interaksional.

PENGARUH PADA TERITORIALITAS

Beberapa faktor yang memperngaruhi keanekaan teritori, yaitu :

  1. Faktor Personal
  2. Situasi
  3. Faktor Budaya

TERITORIALITAS DAN PERILAKU

Teritorialitas berfungsi sebagai proses sentral dalam personalisasi , agresi, dominasi, memenangkan, koordinasi, dan kontrol.

  1. Personalisasi dan Penandaan

Seperti memberi nama, tanda, membuat pagar pembatas, memberi papan nama yang menunjukkan tanda kepemilikan atau dibuat dengan sengaja dengan maksud tertentu, seperti tulisan “DILARANG PARKIR DI DEPAN PINTU”.

  1. Agresi

Pertahanan dengan kekerasan yang dilakukan seseorang akan semakin keras bila pelanggaran terjadi di teritori primernya, misalnya pencurian terjadi di rumahnya. Pada tingkat yang lebih luas, misalnya teritori daerah atau negara. Agresi biasanya terjadi apabila batas teritori tidak jelas.

  1. Dominasi dan Kontrol

Umumnya lebih banyak terjadi pada teritori primer. Contohnya, mahasiswa lebih menganggap laboratorium sebagai teritori sekunder atau teritori publik, bukan teritori primernya, sehingga ia tidak terlalu mendominasi dan mengontrol. Misalnya saat pintu laboratorium yang seharusnya tertutup ddibandingkan pintu kamar tidurnya sendiri.

TERITORIALITAS DALAM ARSITEKTUR

Penerapan teritorialitas dalam desain arsitektur mengacu pada pola tingah laku manusia sehingga dapat mengurangi agresi, meningkatkan kontrol, dan membangkitkan rasa tertib dan aman.

Terdapat banyak cara dalam mengolah penggunaan elemen fisik untuk membuat demarkasi teritori. Semakin banyak sebuah desain mampu menyediakan teritori primer bagi penghuninya, desain itu akan semakin baik dalam memenuhi kebutuhan penggunanya.


Sumber : “Arsitektur dan Perilaku Manusia”, Joyce Marcella Laurens